Bukan, ini bukan post galau,
pundung, linglung, have nowhere to go. Ini juga bukan menyindir Fenomena (yes,
I use word Phenomenon) yang sekarang ini sedang mushrooming di sekitar saya,
dan mungkin perempuan usia 23 yang lainnya.
Well, awal bulan Juni ini,
saya sudah mempersiapkan kehadiran (tepatnya dress dan sepatu) ke kondangan
nikahan dua teman saya di awal Juli. Both of them, 24-25 years old, oke lah
yah, sudah pacaran 3 tahun lebih, dua-duanya sudah bekerja, yah make sense lah. Suddenly gempuran wedding thingy muncul kembali kemarin
saat saya ditelfon teman saya terkait
undangan acara lamaran. Same age as mine then ! Dan kemudian semakin aneh saat
tadi pagi saya mendapat wedding invitation untuk akhir minggu ini.
I don’t give any shit with ppl same age, or commonly just
approximately age as I am, that dare enough getting married in this too
productive age.
Saya ga galau pengen cepet2
nikah ngikutin tren yang beredar saat ini. Sejak awal saya sudah berprinsip
*cailaaah, getting married on the right time, right place, with right people
*yaiyalaaaah. Then, how can I define the
word “right”? Well, bisa-bisa berfluktuasi tergantung kondisi saya sendiri, yah
maunya mapan secara finansial dan sudah merasa siap menjadi partner seumur hidup bagi dan untuk si pasangan
tersebut. Namanya saja keinginan yah, kondisi pra pernikahan menjadi hal utama
menurut saya. Where will I live, What will I eat, What will I wear, dan yang pasti saya ingin
at least berada dalam kondisi financial yang sama dengan saat saya belum
menikah. Ini bukan matre, ini realistis. When I have some doubts, 1% only, saya tidak akan mengambil resiko untuk menggantungkan hidup saya kepada orang tersebut. No way.
Pernikahan hanya sekali seumur hidup, salah satu momen paling berharga, dan
jelas saya tidak mau menyesali pernikahan. *lohjadicurhat
Lalu, dengan banyaknya kerabat di sekitar saya yang mulai menikah, yang kembali saya ingat adalah, this is the part of life, the era of life. After finishing study, then working, getting married, having baby,
and so on and so on. Saya jelas tidak dapat menyangkal hal tersbut, karena itu
adalah cycle of life yang sudah membudaya dari jaman batu, hehe.. Perihal kapan seseorang berpindah dari satu fase ke fase selanjutnya merupakan kesiapan serta kesanggupan masing-masing individu.
Saya ga pernah menyalahkan
kenapa sih orang-orang tersebut menikah muda, mengapa mereka seperti memajukan
fase kehidupan mereka pada usia yang menurut saya belum saatnya. Toh, saya juga
meyakini paham setiap orang memiliki private life masing-masing yang ga pantas
dicampuri oleh orang lain.
In this part, I give much
support and I truly appreciated their keberanian mereka untuk memasuki fase
kehidupan selanjutnya, di usia yang masih muda. I wish them happily ever after.
Tidak ada yang tahu apa
rencana Tuhan, dan memang mungkin rencanaNya seperti itu kepada si teman saya
itu.
Dalam post ini, saya memblok
pemikiran saya terkait alas an utama menikah muda karena desakan orang tua atau
keluarga, Married Because Accident, dan menghalalkan hal yang haram jika belum
menikah (you know lah).