Kali ini saya mau bercerita tentang fenomena ride-sharing dengan bahasa kampung omprengan. Omprengan merupakan kendaraan pribadi (mobil) yang digunakan sebagai kendaraan umum, pada waktu tertentu, di waktu tertentu. Saya sangat yakin yang nasibnya seranah dengan saya (tinggal di daerah BoDeTaBek (commuter)) sudah familiar dengan moda transportasi ini.
Pengendara mobil, yang melakukan pergerakan rutin dari luar Jakarta ke dalam Jakarta, dengan mobil tipe High Occupancy Vehicle (HOV) membuka peluang bagi masyarakat umum untuk menumpang sampai di tempat tertentu dengan tarif yang ditentukan oleh pengemudi (Rp 10.000-Rp15.000). Jam operasional omprengan biasanya dari jam 6 pagi sampai 8 pagi (waktu berangkat kantor) dan jam 5 sore - 8 malam (waktu pulang kantor), dengan tempat awal dan tempat pemberhentian di daerah ramai, misalkan di dekat pintu tol masuk Jakarta di Bekasi dan Jatibening. Di tempat tersebut sudah ada 5-10 mobil yang mengantri untuk mengisi penumpang. Dalam satu mobil, jumlah penumpang 11 orang dengan 1 supir, dengan total 12 orang. Jurusan yang dipilih pada umumnya juga adalah titik-titik ramai di sekitar kawasan perkantoran di Jakarta, seperti Ratu Plaza untuk wilayah Sudirman, di samping Bulog untuk wilayah Kuningan dan sebagainya. Dalam perjalanan menuju tempat terakhir, penumpang juga dapat turun di titik yang dikehendaki (sama seperti kopaja/metromini/angkot).
Pengemudi pada umumnya adalah pekerja kantoran yang membawa kendaraan HOV dengan kondisi kendaraan baik sampai buruk, mengemudi sendirian, dan menyadari peluang keuntungan. Dengan pemikiran ala padang, yang berpikir untuk mencari keuntungan setinggi-tingginya (hehe), mereka melihat peluang untuk menyewakan kursi penumpang ke orang kantoran atau kuliahan yang berkeinginan untuk melakukan pergerakan ke lokasi yang searah, pada waktu yang bersamaan. Selain itu ada juga pengemudi yang sengaja menggunakan kendaraannya untuk "ngompreng".
Dengan memberikan tumpangan berbayar ke masyarakat umum, pengemudi jelas untung, karena selain dapat pergi ke kantor, uang bensin dengan atau tanpa uang tol terbayarkan, lolos dari ruas three in one, plus dapat uang lebih dari ongkos jalan. Jelas untung bukan?
Tidak hanya pengemudi yang diuntungkan, pada kasus ride-sharing ini, penumpang juga diuntungkan. Mengapa saya berkata demikian?
Berdasarkan hasil penelitian BPS, jumlah penduduk Jakarta di siang hari dua kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah penduduk di malam hari. Commuter memiliki peran besar dalam menggendutkan jumlah penduduk di siang hari dengan instan. Telah disadari, Jakarta, kota serba ada, kota hiburan, kota perdagangan, kota jasa, kota pariwisata, dan segalanya merupakan gula kehidupan masyarakat Jakarta dan daerah penyangga di sekitarnya. Kapasitas kendaraan umum yang tersedia mulai dari patas AC dan non AC yang tidak sebanding dengan jumlah penumpang, kenyamanan yang buruk, serta preferensi masyarakat untuk mengendarai kendaraan pribadi jelas menyebabkan kemacetan luar biasa dari luar Jakarta menuju Jakarta pada waktu-waktu peak hours (jam berangkat kantor dan pulang kantor).
Disinilah omprengan memberikan jawaban praktis bagi commuter untuk mendapatkan kendaraan “umum” yang nyaman, aman, dan relatif murah. Orang tinggal masuk ke mobil, mengumpulkan uang, bayar, tidur, dan bangun saat di dekat tempat perhentian. Dengan adanya omprengan, commuter tidak perlu berdiri menunggu patas yang tidak kunjung datang, berteman dengan asap kendaraan bermotor, apesnya dapat berdiri sepanjang perjalanan selama 1-2 jam. Di sinilah saya bilang, hubungan yang terjadi antara penumpang dengan pengemudi omprengan adalah simbiosis mutualisme.
Namun, kadangkala yang dianggap baik belum tentu benar.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment