Pages

"I believe in pink. I believe that laughing is the best calorie burner. I believe in kissing, kissing a lot. I believe in being strong when everything seems to be going wrong. I believe that happy girls are the prettiest girls. I believe that tomorrow is another day and I believe in miracles."
Audrey Hepburn

Tuesday 20 March 2012

“I Envy You and You and You (as always)

“Babe, lo tau ga Davina bulan depan start kuliah di Groningen. Gila, satu tahun ga kerja tiba-tiba katanya dia udah kuliah aja dong di Groningen! Lo kapan nyusul babe?” Spontan cangkir kopi yang seharusnya sudah menyentuh bibir langsung saya letakkan di samping mouse laptop. YM dari Fani, sahabat saya sejak kuliah, langsung merusak total momen nyaman saat saya idle mengedit rubrik Fashion Spread edisi bulan depan. Bagaimana tidak merusak? Pikiran saya langsung berpikir jauh ke depan tentang impian saya, melanjutkan S2 di Negeri Menara Eiffel, membaca buku di taman terbuka yang nyaman, menikmati macaroon dan hot tea di kafe kecil, dan berkomunikasi dengan bahasanya yang menurut saya sangat seksi. Beruntungnya, Davina dengan IPK pas-pasan dengan kemampuan orang tua mendahului saya ke negara tetangganya. Hati saya sontak berdebar ga karuan.

Sesaat saat saya memalingkan kepala saya ke kanan, cubicle seberang sudah kosong dari minggu lalu. Mbak Joyce, partner akrab menggila dalam bekerja dan belanja, sudah pindah ke perusahaan lain. Berkat kecintaannya dengan bidang marketing dan keberaniannya untuk meninggalkan kenyamanan kerja di kantor ini, dia pindah ke perusahaan sebelah dan naik posisi sebagai Marketing Manager. Saat dia bercerita dengan hebohnya minggu lalu tentang rencana resign karena kenaikan jabatannya itu, saya jelas iri. Well, she deserves it, but I also deserve something like that too!

Lalu saya menghela nafas. This is it. This is what lots of girls out there feel when there are other girls have better life than her. ENVY.

Seperti banyak perempuan lainnya, saya juga sering membandingkan diri saya dengan orang lain, terutama orang yang lebih ini dan lebih itu dibandingkan saya. Ujung-ujungnya yah tidak jauh dari pemikiran iri. Kenapa saya tidak bisa seperti mereka, seharusnya saya bisa seperti mereka, dan paling baiknya kalau ada pemikiran, apa yang harus saya lakukan saat ini supaya saya bisa seperti mereka. Pertanyaannya adalah, bila rasa iri itu tidak memacu diri saya untuk bertindak lebih keras untuk mencapai apa yang bisa orang lakukan, bagaimana kalau yang terjadi malah sebaliknya?

Saya teringat teman-teman kuliah yang “biasa saja” selalu iri dengan salah satu teman kuliah saya yang sangat cantik. Kemudahan mendapatkan pacar yang ganteng dan kaya, tanpa usaha berat membuat teman-teman yang lain iri, bahkan sampai meremehkan kepribadiannya. Mungkin mereka tidak sadar, rasa iri berlebihan tersebut telah membuat mereka membenci kelebihan orang lain.

Oh iya, saya juga ingat saudara sepupu saya yang mindernya bukan main. Semua dimulai dari kebiasaan orang tuanya yang sering membanding-bandingkan prestasinya yang biasa dengan adiknya yang juara II Olimpiade Sains Internasional. Hasilnya? Efek terlalu iri dengan saudara itu, dia jadi pemalu untuk berbicara dengan orang lain, karena merasa tidak memiliki potensi diri. Miris.

Saya kemudian sadar, apa memang saya pantas iri dengan kelebihan orang lain? Apa kelebihannya itu harus saya miliki juga sama persis? Apakah track keberhasilannya memang sesuai dengan track yang saya inginkan? Atau malahan saya memaksakan diri untuk berpindah track hanya karena untuk menunjukkan eksistensi saya di track dia? Haaaaah….

Petuah mengatakan, inti dari hidup adalah bagaimana kita dapat menikmati, menghargai, bahkan mensyukuri apa yang dimiliki saat ini. The present is the outcome of the decision I made in past. The future is the outcome of the decision I make in present. Jangan sampai rasa iri membuat saya tidak mensyukuri apa yang saya miliki saat ini dan mengacaukan track masa depan saya.

Tuhan telah menciptakan rejeki setiap orang berbeda2, and we don’t know what, how, where, and when rejeki kita diberikan oleh Tuhan. Everybody has their own track. There’s no use of envy. It only disrupts your track. And none want to lose in their own track.

Apa gunanya saya iri dengan Davina yang lanjut s2 di Groningen, padahal jelas jurusannya beda dengan saya. Apalagi iri dengan kenaikan jabatan Mbak Joyce padahal jelas divisinya berbeda. Buang jauh-jauh rasa iri, fokus dengan tujuan sendiri, kerja keras dan iklas, serta bersyukur dengan apa yang Tuhan beri.

Getaran smartphone saya tiba-tiba membangunkan saya dari pemikiran mengawang-awang tersebut. Email masuk dari Sekretaris Redaksi “SECRET BIG NEWS! Salah satu hasil rapat internal barusan memastikan kamu ngedampingin Tante Vyna ngeliput Milan Fashion Week minggu depan. I ENVY YOU !” Saya hanya bisa tersenyum dan berkata dalam hati. “Jelas rejeki orang beda2. I am thankful for what I have now and I will have later”.

~ Artikel Free Speech yang awalnya saya kirimkan ke CLEO Indonesia, namun ditolak. Hiks :"(

Saturday 17 March 2012

Kupang, NTT (12 - 15 March 2012)


Jangan berharap kali ini saya bercerita tentang kegiatan Konsultasi Regional Kementerian PU yang saya hadiri dan saya panitiai. Oke, memang alasan utama saya ke Kupang adalah mengurus acara Konsultasi Regional tersebut. Namun, tidak ada alasan, bagi seorang flashtraveler gadungan seperti saya tidak curi-curi kesempatan untuk menikmati sensasi Kota Kupang, kota karang Indonesia wilayah timur ini.

Kupang, sekalipun ibukota Nusa Tenggara Timur, namun belum seberkembang ibukota Nusa Tenggara tetangga (baca Mataram), apalagi Surabaya, Makassar, bahkan Bengkulu sekalipun. Seperti parameter acak dan unik tipe kota yang saya peroleh saat kuliah (kota yang sudah terdapat McD adalah kota maju, dan kota yang sudah terdapat KFC adalah kota berkembang), Kota Kupang sudah memiliki KFC walaupun baru satu :)

Perjalanan via udara dari Jakarta menuju Kupang menghabiskan waktu kira-kira 3,5 jam. Sesampainya di Bandara El Tari, well, tidak jauh berbeda dengan bandara kota kecil lainnya. Hanya ada satu tempat pengambilan bagasi saja, tidak melingkar pula. Lokasi El Tari cukup jauh dari pusat kota (20 menit, jangan bandingkan dengan waktu tempuh di Jakarta ya). Oia, selidik punya selidik, ternyata nama El Tari adalah nama Gubernur NTT yang pertama :)

Welcoming Me

Kontur Kota Kupang cukup bervariasi (tinggi dan rendah), namun tidak seekstrem Kota Manado. Oleh sebab itu, jalan propinsi maupun jalan kota agak naik-turun. Kondisi jalan (yang saya lewati) relatif mantap. Kendaraan pribadi (mobil dan motor) serta kendaraan umum cukup ramai di daerah-daerah utama, selainnya sepi. Lampu jalan masih jarang-jarang, jadi kalau berjalan di malam hari harus lebih waspada. Tekstur tanah Kota Kupang mayoritas adalah karang. Beruntung saya ke sana pada Maret, hijau rumput dan pohon terlihat dengan segar. Bila saya ke sana sekitar Oktober, sudah pasti saya hanya menemukan kegersangan Kupang dengan semak-semak coklat dan tanah karang.

Hanya ada satu mall di Kota Kupang, namanya Flobamora Mall (Flores Sumba Timor Alor). Pusat perbelanjaan terbesar ini berisi Ramayana, Robinson, beberapa ATM, toko-toko kecil yang menjual mainan, makanan, dll. Di tempat ini juga terdapat KFC yang ampun-ampun tidak profesional. Baris calon pembeli ditutup seenaknya, pesanan dirubah tanpa diberitahu, saya hampir satu jam mengantri hanya untuk membeli nasi, ayam, dan mocca float.

Mall Flobamora

Yang sangat menarik perhatian saya terkait transportasi, tidak lain tidak bukan, BEMO-nya (sebutan untuk Angkot di Kupang). Berawal dari iseng, saya menaiki bemo yang tampakan luarnya adalah cat berwarna-warni. Penanda rute bemo bisa dilihat dari nomer si bemo yang berdiri tegak di atas atap bemo (bayangkan lampu taksi bluebird, namun dalam bentuk angka saja). Sebutan rute bemo disebut lampu (haha). Misalkan, kalau di Bekasi naik nomer 19, di sana sebutannya mau naik lampu 19. Hehehe. Selain itu, yang paling menarik dari bemonya, adalah sound system yang ajib! Saya duduk di atas sound system yang memainkan lagu-lagu house music dan dugem terbaru. Saya kaget dengan lagu yang dipasang adalah Papa Americano. It's way too fast for them (hehe). Suaranya menggelegar, buktinya kaca tampak belakang bergetar! Selain itu, jendela mobil ditempel seluruhnya dengan stiker warna warni. Heboh bener deh. Uniknya disini, semakin heboh si bemo, semakin banyak yang mau naik (hahaha). Ongkos naik bemo jauh dekat Rp 2.000, kalau masih muda Rp 1.000 saja. Oia, seluruh bemo ada kondekturnya yang bergelantung di pinggir pintu. Sebutannya konjak. Jadi, kalau mau membayar, bayarnya ke si konjak itu. Selain bemo, ada juga taksi dengan mobil avanza/xenia/innova dengan tarif Rp 50.000 per satu lokasi !

tampakan kaca bemo

tampakan depan

soundsystem yang menggelegar

tampakan supir dan xenia taksi yang saya tumpangi

Makanan? Target utama saya Sei Babi! Sei adalah daging asap yang dipanggang. Sei Babi di Kupang sangat terkenal kelezatannya. Sumber daging babi tersebut dari Kabupaten Baun. Hasil nanya-nanya ke orang lokal, katanya Sei Babi paling enak ada di Resto Bambu Kuning dan Toko Oleh-oleh Sudi Mampir. Sadisnya, saya sudah berangkat dari jam 12.00 ke Resto Bambu Kuning, all sold out! Katanya harus pesan satu hari sebelumnya. Malesinnya, saya masih lihat berkilo-kilo babi sedang diasap. Akhirnya saya ke Sudi Mampir untuk membelinya. Harganya Rp 110.000 untuk 1 kg. Selain sei babi, saya tidak menemukan makanan yang enak di sana (sorry to say this). Makanan olahan daging maupun ayam relatif keras dan sangat manis.

makanan asli Kupang yang so so rasanya

Bahasa lokal Kupang lumayan kocak. Intonasi di akhir kalimat cenderung menaik. Mereka juga seringkali menambahkan kata "toh/to" di akhir kalimat, hampir sama dengan logat Jawa. Bedanya Jawa dengan intonasi turun, Kupang dengan intonasi naik. Saya iseng-iseng menggunakan logat Kupang, disebut gagal karena terlalu batak (haha). Selain itu, kata yang masih saya ingat, kitong untuk kita, mo untuk mau, nyong untuk kamu, nona untuk panggilan ke perempuan, hanya itu (hehe).

Spot pariwisata yang saya kunjungi hanya dua. Pantai Pasir Panjang yang kurang menarik dan Patung Ina Boi. Pantai Pasir Panjang terkesan biasa saja di mata saya. Mungkin karena saya singgah pukul 13.00 WITA (bukan saat sunrise maupun sunset), tidak ada momen spesial yang saya temukan. Kondisi pantai yang sedang kotor, banyak ranting berserakan, semakin mendorong saya untuk segera mungkin meninggalkan pantai. Patung Ina Boi adalah patung nona Rote yang sedang bermain sasando (FYI sasando adalah alat musik tradisional NTT). Sesungguhnya NTT adalah propinsi yang menyimpan banyak lokasi pariwisata, seperti Pulau Komodo, Danau Tiga Warna Kelimutu di Kabupaten Ende, Perburuan Paus Tradisional di Kabupaten Lembata, Pasola di Pulau Sumba. Namun untuk mencapai lokasi tersebut, wisatawan harus merogoh kocek lebih dalam, karena lokasi tersebut ada di Kabupaten/Kota/Pulau lain yang perlu ditempuh dengan pesawat atau kapal laut.

patung Ina Boi


Pantai Pasir Panjang yang kurang menarik (saat itu)

Well, kalau ditanya mau kembali lagi ke Kota Kupang? Saya lebih pilih menitip Sei Babi ke teman yang berkunjung ke Kota Kupang :D

Friday 16 March 2012

Ride-Sharing, I am part of them (1)

gambar diambil dari sini

Dimana ada permintaan, selalu ada penawaran. Prinsip ini berlaku tidak hanya dalam penyediaan barang, namun juga jasa. Dengan tingginya permintaan, kondisi kurangnya barang dan jasa yang ada, serta tingkat kreativitas masyarakat yang tinggi, menciptakan ide penyediaan barang dan jasa yang (mungkin) ilegal namun juga dibutuhkan. Kembali lagi ke prinsip awal, saat penyediaan barang dan jasa yang ada benar-benar dibutuhkan, konsumen tidak akan berpikir lagi tentang kelegalan barang dan jasa.

Kali ini saya mau bercerita tentang fenomena ride-sharing dengan bahasa kampung omprengan. Omprengan merupakan kendaraan pribadi (mobil) yang digunakan sebagai kendaraan umum, pada waktu tertentu, di waktu tertentu. Saya sangat yakin yang nasibnya seranah dengan saya (tinggal di daerah BoDeTaBek (commuter)) sudah familiar dengan moda transportasi ini.

Pengendara mobil, yang melakukan pergerakan rutin dari luar Jakarta ke dalam Jakarta, dengan mobil tipe High Occupancy Vehicle (HOV) membuka peluang bagi masyarakat umum untuk menumpang sampai di tempat tertentu dengan tarif yang ditentukan oleh pengemudi (Rp 10.000-Rp15.000). Jam operasional omprengan biasanya dari jam 6 pagi sampai 8 pagi (waktu berangkat kantor) dan jam 5 sore - 8 malam (waktu pulang kantor), dengan tempat awal dan tempat pemberhentian di daerah ramai, misalkan di dekat pintu tol masuk Jakarta di Bekasi dan Jatibening. Di tempat tersebut sudah ada 5-10 mobil yang mengantri untuk mengisi penumpang. Dalam satu mobil, jumlah penumpang 11 orang dengan 1 supir, dengan total 12 orang. Jurusan yang dipilih pada umumnya juga adalah titik-titik ramai di sekitar kawasan perkantoran di Jakarta, seperti Ratu Plaza untuk wilayah Sudirman, di samping Bulog untuk wilayah Kuningan dan sebagainya. Dalam perjalanan menuju tempat terakhir, penumpang juga dapat turun di titik yang dikehendaki (sama seperti kopaja/metromini/angkot).

Pengemudi pada umumnya adalah pekerja kantoran yang membawa kendaraan HOV dengan kondisi kendaraan baik sampai buruk, mengemudi sendirian, dan menyadari peluang keuntungan. Dengan pemikiran ala padang, yang berpikir untuk mencari keuntungan setinggi-tingginya (hehe), mereka melihat peluang untuk menyewakan kursi penumpang ke orang kantoran atau kuliahan yang berkeinginan untuk melakukan pergerakan ke lokasi yang searah, pada waktu yang bersamaan. Selain itu ada juga pengemudi yang sengaja menggunakan kendaraannya untuk "ngompreng".

Dengan memberikan tumpangan berbayar ke masyarakat umum, pengemudi jelas untung, karena selain dapat pergi ke kantor, uang bensin dengan atau tanpa uang tol terbayarkan, lolos dari ruas three in one, plus dapat uang lebih dari ongkos jalan. Jelas untung bukan?

Tidak hanya pengemudi yang diuntungkan, pada kasus ride-sharing ini, penumpang juga diuntungkan. Mengapa saya berkata demikian?

Berdasarkan hasil penelitian BPS, jumlah penduduk Jakarta di siang hari dua kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah penduduk di malam hari. Commuter memiliki peran besar dalam menggendutkan jumlah penduduk di siang hari dengan instan. Telah disadari, Jakarta, kota serba ada, kota hiburan, kota perdagangan, kota jasa, kota pariwisata, dan segalanya merupakan gula kehidupan masyarakat Jakarta dan daerah penyangga di sekitarnya. Kapasitas kendaraan umum yang tersedia mulai dari patas AC dan non AC yang tidak sebanding dengan jumlah penumpang, kenyamanan yang buruk, serta preferensi masyarakat untuk mengendarai kendaraan pribadi jelas menyebabkan kemacetan luar biasa dari luar Jakarta menuju Jakarta pada waktu-waktu peak hours (jam berangkat kantor dan pulang kantor).

Disinilah omprengan memberikan jawaban praktis bagi commuter untuk mendapatkan kendaraan “umum” yang nyaman, aman, dan relatif murah. Orang tinggal masuk ke mobil, mengumpulkan uang, bayar, tidur, dan bangun saat di dekat tempat perhentian. Dengan adanya omprengan, commuter tidak perlu berdiri menunggu patas yang tidak kunjung datang, berteman dengan asap kendaraan bermotor, apesnya dapat berdiri sepanjang perjalanan selama 1-2 jam. Di sinilah saya bilang, hubungan yang terjadi antara penumpang dengan pengemudi omprengan adalah simbiosis mutualisme.

Namun, kadangkala yang dianggap baik belum tentu benar.

(bersambung)

Monday 5 March 2012

Sharing Doesnt Mean Reducing

pic from here

Dalam perjalanan menuju ke kantor, driver saya menceritakan sesuatu yang cukup menyentuh.

These days, people tend to keep knowledge by themselves in order to be the best advance one. Membagi ilmu seolah-olah akan mengurangi kevalidan kemampuan seseorang dengan secara tidak langsung membuat orang lain bisa menjadi lebih pintar dibandingkan dirinya sendiri. Ketakutan itu menyebabkan orang pada umumnya hanya memberikan ilmu tidak secara penuh 100%, hanya 50% bahkan paling mentok 80%. Itu baru turun ke orang kedua. Coba bayangkan bila ilmu tersebut sudah turun sampai ke orang ke-sepuluh. Seberapa dangkal ilmu si penerima informasi dibandingkan ilmu secara penuh dari sang ekspert yang pertama.

Saya sadari, memang pernyataan tersebut benar adanya. Saya mempunyai beberapa teman yang pintar dan kalau boleh menggunakan istilah “pelit ilmu”, mereka tidak mau membagi ilmunya ke orang lain, bahkan kepada saya yang sudah bertanya berkali-kali. Seperti keeping those only for me. That makes me different and better than another. Terkadang pula bahkan, saya melakukan hal tersebut. Saat ada teman yang bertanya, dengan excuse gak mood, agak males sama orangnya, dll. saya terkadang hanya menjawab sengenanya saja bahkan terkadang pura-pura ga tahu (bad me).

Ada kemungkinan ini dikarenakan budaya oportunis yang semakin menjamur di era saat ini. Dengan mengkeep pengetahuan tersebut di dirinya sendiri, seseorang berasa paling jagoan karena yang pertama tahu dan (terkesan) paling tahu.

Saya pernah membaca suatu kali bahwa saat orang mengajarkan ilmu orang lain, maka ilmu yang diajarkan tersebut akan dua kali lebih diingat oleh pengajar (mungkin efek cara pengajaran visual dan audio sekaligus). Selain itu, ilmu itu seperti cangkir, perlu dialirkan bila sudah penuh, agar cangkir tersebut bisa diisi lagi. Bila saja, orang-orang di luar sana (begitu pula saya) tahu dan sadar akan efek sharing ilmu tersebut, sudah pasti semua orang akan mendapat informasi yang utuh dan informasi yang baru J